Titik Temu HAM dan Komunitarianisme di Indonesia
Oleh: R. Ahmad Rosyiddin Brillyanto*
Indonesia dikenal dengan budaya komunitarian yang sudah mengakar di kehidupan tradisional warganya. Salah satu bentuk dari komunitarianisme ini adalah apa yang kita kenal sebagai gotong royong atau sebutan lainnya yang menekankan pada pengutamaan urusan kelompok ketimbang individu. Lantas bagaimana aktualisasi dari komunitarianisme itu ketika ide tentang hak asasi manusia masuk ke Indonesia?
Terlebih dahulu kita harus mengetahui perbedaan antar keduanya. Secara singkat komunitarianisme dapat kita artikan sebagai sebuah paham yang menekankan pentingnya kebersamaan, kekeluargaan, atau kontrak sosial dalam berlangsungnya kehidupan bermasyarakat. Sehingga dalam praktiknya peran individu terlampau dipinggirkan serta nilai dan norma dalam masarakat begitu mendominasi dalam urusan kehidupan seseorang. Adapun sebaliknya, hak asasi manusia menekankan bahwa yang mengetahui apa yang terbaik bagi tiap individu adalah individu itu sendiri, sehingga dalam paradigma hak asasi manusia, individu memiliki peranan besar tentang segala sesuatu ketimbang logika komunitarian. Keduanya memiliki perbedaan dari bagaimana mereka melihat dunia.
Dalam konteks global, dikotomi antara komunitarianisme dan hak asasi manusia kerap diidentikkan dengan dikotomi antara negara barat dengan negara dunia ketiga. Pada pertengahan abad ke-20, kala berbagai negara baru merdeka dari belenggu penjajahan, negara-negara dunia ketiga memandang hak asasi manusia sebagai sebuah konsepsi yang tidak lahir dari ruang hampa, ia lahir dalam konteks masyarakat barat yang justru saat itu gencar-gencarnya menjajah mereka. Di lain sisi, prioritas untuk menyusun infrastruktur pembangunan dan perekonomian pada negara-negara berkembang pun turut membuat semangat komunitarianisme menguat dan meminggirkan kepedulian akan urgensi dari hak asasi manusia.
Dalam konteks nasional, perdebatan antara hak asasi manusia dan komunitarianisme pun turut mewarnai diskursus dalam proses perumusan UUD 1945. Kala itu kedua blok ideologi ini direpresentasikan diantaranya oleh Hatta dan Maria Ulfah di kubu yang mendorong pengarusutamaan hak asasi manusia, serta Soekarno dan Soepomo di sisi komunitarian. Soepomo dengan gagasan negara integralistiknya adalah sosok paling vokal menyuarakan konsep komunitarian kala itu, ia beranggapan bahwa asas komunitarian adalah asas yang lebih cocok karena ia sesuai dengan kehidupan berbagai suku tradisional di Indonesia. Terlebih karena besarnya pengaruh fasisme Jepang kala itu, ia juga beranggapan bahwa Indonesia kelak harus berdiri sebagai negara kekeluargaan, dimana setiap orang hendaknya berlomba-lomba untuk “memberi” pada bangsanya ketimbang menuntut haknya.
Dalam perdebat tersebut Hatta dan Maria Ulfah berusaha agar dimasukannya pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan terhadap warga negara, yang kini kita dapati walaupun tidak banyak pasal-pasal tersebut telah masuk ke dalam konstitusi kita. Melalui “kemenangan” Hatta dan Maria Ulfah tersebut, UUD 1945 pasca amandemen pun telah memiliki pasal-pasal yang memberikan jaminan bagi hak-hak asasi manusia. Terlebih dalam perkembangannya Indonesia pun turut menerima norma-norma hak asasi manusia dengan meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional.
Menanggapi dari berbagai pernyataan di atas, penulis pun tidak sepakat jika sepenuhnya komunitarianisme itu memberikan dampak positif bagi kehidupan berbangsa. Gagasan Soepomo tentang negara kekeluargaan menemui titik ekstrem nya pada era Orde Baru, yang berusaha menjaga kestabilan sosial politik dengan menggunakan instrumen aparat penegak hukum yang represif serta tafsir tunggal atas dasar negara. Keberlanjutannya adalah ide developmentalisme yang selalu mencanangkan pembangunan infrastuktur dengan dalih demi kepentingan bersama, adapun masyarakat yang digusur dari tanah kelahirannya demi proyek tersebut hanya dianggap sebagai ekses belaka.
Barangkali ada benarnya bahwa ide komunitarianisme itu memang betul berakar dari kehidupan tradisional masyarakat Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana praktik tersebut berlaku di Sumatra Barat ketika mereka mengadakan musyawarah untuk menentukan fungsi dari sebuah lahan, bagaimana praktik nyinom dan rewang di Yogyakarta, praktik rembug desa, dan contoh budaya lainnya yang cenderung mendahulukan hak sosial ketimbang hak individu yang begitu banyak dapat kita temui di Indonesia.
Alih-alih mendamaikan kedua kutub antara komunitarianisme dan hak asasi manusia, mengapa kita tidak mempraktikkan hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan? Suatu bayangan akan kondisi masyarakat yang menjunjung tinggi kebebasan individu namun dalam konteks ia hidup sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakatnya. Ini tentu bukanlah hal yang tidak mungkin, bukankah untuk membuat instrumen legal yang menjamin hak asasi manusia sekalipun dibutuhkan kerja sama dan konsensus antar berbagai pihak di parlemen? Dan bukankah demi bisa bermusyawarah menentukan arah kebijakan bersama tiap individu pun haruslah merdeka untuk berbicara?
Referensi:
Robert, Robertus. 2020. Ham Dalam Reuni Organisme-Developmentalisme. Majalah Tempo
Latif, Yudi. 2013. Negara Paripurna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
*Kontributor merupakan pegiat HAM yang bergabung dalam Amnesty Internasional Indonesia Chapter UIN Syarif HIdayatullah (AIICU).