Melihat Kampanye Penegakan HAM dari Olahragawan Dunia
Oleh: Muhammad Rayhan*
Diego Armando Maradona atau lebih dikenal sebagai Diego Maradona merupakan salah seorang legenda sepak bola Argentina dan salah seorang figur pesepak bola terbaik dunia dan telah menghembuskan nafas terakhir pada 25 November 2020 lalu. Pasca kematiannya, sebagian besar pertandingan sepak bola di banyak belahan dunia diawali dengan suatu tradisi yang dilakukan jika terjadi keadaan duka, yaitu tradisi Moment of Silence. Tradisi di mana dua kesebelasan yang akan bertanding berdiri melingkar di tengah lapangan untuk mengheningkan cipta, mengenang kematian Maradona. Tradisi ini selalu menyadarkan saya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sepak bola yaitu kemanusiaan itu sendiri.
Salah satu pertandingan Maradona yang saya ingat pasca ia pensiun adalah pertandingan amal yang diinisiasi oleh Paus Francis Bergoglio bertajuk Interreligious Match for Peace, atau disingkat Match for Peace. Ingatan saya tereka ulang pasca membaca artikel pertandingan ini di situs Panditfootball. Pertandingan dilaksanakan pada 2014 lalu sebagai sebuah bentuk respon terhadap dugaan kekerasan yang dilakukan terhadap warga Palestina di Jalur Gaza oleh tentara Israel sekaligus untuk mendorong resolusi perdamaian dalam konflik yang terjadi di wilayah tersebut. Dalam pertandingan tersebut Paus Francis Bergoglio mengundang banyak pemain bintang seperti Zavier Zanetti, Ronaldinho, Samuel Eto’o, dan banyak nama besar lain termasuk Maradona. Pertandingan sepak bola ini dijadikan sebagai suatu alat mempromosikan perdamaian dan nilai-nilai perlindungan terhadap hak asasi manusia. Suatu tujuan yang sulit saya pahami sebagai penonton sepak bola berusia empat belas tahun kala itu.
“Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk pada kegelapan” adalah salah satu pepatah Tiongkok yang saya maknai sebagai suatu nasihat untuk mengambil peran dalam upaya melawan dibanding menyerah pada ketidakadilan. Nasihat ini juga suatu waktu pernah saya baca sebagai salah satu moto kampanye yang dilakukan oleh Amnesty Internasional untuk mengajak semua orang untuk terlibat dan mengambil bagian masing-masing pada perjuangan melawan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Saya juga melihat banyak atlit mengambil bagian mereka dalam upaya mereka “menyalakan lilin” untuk menerangi kegelapan.
Pasca kematian George Floyd, yang dibunuh oleh seorang perwira Polisi bernama Derek Chauvin dengan berlutut di leher Floyd selama 8 menit, protes besar-besaran terjadi di banyak wilayah di Amerika Serikat menuntut penindakan terhadap aksi kekerasan polisi terhadap orang kulit hitam tersebut dan ditambah respon masyarakat internasional yang berbondong-bondong memberikan dukungan dalam bentuk tagar #BlackLivesMatter di media sosial. Kampanye yang bertujuan untuk melawan kekerasan maupun rasisme sistemik juga dilakukan oleh para atlit sebagai bentuk dukungan mereka terhadap gerakan ini.
Seiring dengan menggemanya kampanye #BlackLivesMatter di seluruh dunia, tercatat beberapa aksi solidaritas yang ditunjukan oleh para atlit. Diawali oleh boikot yang dilakukan oleh tim nasional basket Amerika Serikat, Penundaan pelaksanaan pertandingan liga sepak bola Amerika, hingga Petenis Naomi Osaka juga memboikot turnamen yang sedang diikutinya. Pasca kembalinya bergulir NBA para pemain menggunakan kaos pra pertandingan bertuliskan Black Lives Matter. Senada dengan NBA, Liga Premier Inggris sebagai liga sepak bola dengan jumlah penonton terbesar di seluruh dunia mewajibkan penggunaan nama punggung bertuliskan Black Lives Matter di seluruh jersey pemain kesebelasan selama 12 pertandingan awal. Liga Premier juga mewajibkan emblem yang bertujuan sebagai bentuk dukungan kepada para tenaga medis yang sedang berjuang di garis terdepan melawan wabah pandemi Covid-19.
Selain Naomi Osaka, pada level individu masih banyak atlit lain yang berkontribusi pada gerakan kemanusiaan ini. Lewis Hamilton, pembalap jagoan di Formula 1, bahkan ikut turun ke jalan bergabung bersama para demonstran. Selain itu, David Alaba, pemain bertahan Bayern Munchen, menggunakan kaos yang bertuliskan Black Lives Matter saat perayaan juara setelah mengalahkan lawan mereka di final yaitu Paris Saint-Germain sebagai bentuk solidaritas Alaba kepada gerakan anti kekerasan dan rasisme sistematis.
Aksi kemanusiaan yang dilakukan para atlit memang bukan sebuah barang baru dalam dunia olahraga. Terbaru penyerang Manchester United yaitu Marcus Rashford mendorong sebuah kampanye untuk melawan kelaparan bagi anak-anak di Inggris yang tidak bisa masuk sekolah karena wabah pandemi Covid-19. Kampanye yang ia lakukan berhasil mendorong Pemerintahan Inggris untuk melanjutkan kampanye tersebut dengan bantuan dana sebesar 120 juta pound dalam bentuk voucher makanan untuk anak-anak di Inggris. Hal ini juga menjadi bukti bahwa tiap individu sejatinya bisa menyalakan lilinnya masing-masing ketimbang mengutuki kegelapan.
Juga berlaku bagi saya dan kamu, perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan bisa kita mulai dari diri kita masing-masing. Kita bisa mengambil peran kita sejauh yang dapat kita lakukan sebagai bentuk kepedulian kita terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Amnesty Internasional Indonesia menyediakan salah satu alternatif jalan perubahan yang bisa kamu ambil yaitu Kampanye Pena. Pena atau Pesan Perubahan adalah suatu kampanye yang diusung Amnesty Internasional Indonesia dengan mengumpulkan pesan-pesan perubahan dari saya, kamu, dan ribuan orang lain yang menuntut keadilan HAM ditegakkan di Indonesia. Surat-surat yang telah kita tulis kemudian akan disampaikan oleh Amnesty Internasional Indonesia kepada pihak-pihak terkait yang berwenang.
Untuk ikut berkontribusi pada kampanye ini, kamu dapat mengunjungi akun instagram Amnesty Internasional Indonesia Chapter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ( https://www.instagram.com/amnesty.uinjkt/ ) dan men-klik tautan yang tertera pada laman profil tersebut kemudian tulis pesan perubahanmu. Sebagaimana suatu perjalanan ratusan kilometer dimulai dengan satu langkah, mungkin pesan perubahanmu merupakan suatu aksi kecil yang akan menjadi sebuah bagian dari perubahan besar nantinya. Semoga!
*Penulis merupakan aktivis HAM dan sekarang terlibat sebagai HR dalam Amnesty Internasional Indonesia Chapter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (AIICU)