Jadi Korban, Pelaku, & Saksi Perundungan. Apa yang Harus Dilakukan?

--

Oleh : Talitha Septyarinni*

Jika melihat kembali ke masa sekolah dulu, rasanya kita semua sangat tidak asing dengan fenomena ‘bullying’ atau perundungan. Mungkin saja, hal tersebut menjadi bentuk pelanggaran HAM pertama yang kita alami, lakukan, atau saksikan.

Saya sendiri mengalami perundungan pertama (dan mungkin terakhir) saat masih berada di bangku Taman Kanak-Kanak. Pelaku yang merupakan teman sekelas, menyerang saya secara fisik dan verbal. Di waktu istirahat ketika yang lain asyik bermain, saya bersembunyi sendirian di bawah sebuah pondok kecil untuk menghindari si pelaku dan bahkan saya diingatkan bahwa pada suatu hari saya pernah menolak untuk pergi ke sekolah. Tentu saja sekarang saya sudah tidak ingat rasa sakit dari serangan fisik yang diberikan pelaku. Namun, serangan verbalnya terus membekas di ingatan saya bahkan hingga kini.

Pengalaman ‘bullying’ yang saya alami tentu saja tidak membuat saya memiliki pikiran untuk melakukan hal serupa. Namun rasanya saya tahu berada di posisi pelaku yang masih anak-anak, yang melakukan hal tersebut dengan dalih ‘iseng’ atau ‘bercanda’. Tanpa saya sadari, saya pernah melakukan tindakan ‘bullying’ terhadap seseorang. Dimana saya dan teman-teman pernah sekali, mengunci dia di dalam kelas dengan alasan ‘bercanda’, atau mencoret-coret namanya di dinding. Saya juga ingat pernah meminta maaf atas perbuatan yang saya lakukan, namun masih tidak menyadari bahwa yang saya lakukan merupakan sebuah perundungan. Saya sadar ketika telah dewasa, dan mendengar dari seorang teman bahwa dia begitu membenci saya atas perbuatan saya dahulu. Apa yang ia rasakan persis seperti yang saya rasakan sebagai seorang korban.

Saya juga pernah menjadi saksi kejadian perundungan di bangku Sekolah Menengah Pertama, dan yang menurut saya cukup parah. Dimana korban dengan sangat jelas diserang secara fisik, diancam, dan dikucilkan oleh pelaku. Mirisnya, hanya ada segelintir orang di kelas yang kadang berusaha mengingatkan si pelaku atau melapor kepada guru. Yang lain termasuk saya memilih diam, entah karena takut pada si pelaku atau merasa bahwa hal itu bukan urusannya.

Minimnya pengetahuan akan pelanggaran HAM satu ini membuat saya yang pernah berada di posisi korban, pelaku, dan saksi tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Sementara itu, pengalaman saya hanyalah sebuah contoh kecil dan di luar sana masih banyak orang-orang yang diperlakukan serta melakukan tindakan bullying sampai ke tahap yang serius. Pendidikan HAM yang menekankan etika dan moral harus lebih diajarkan di masa sekolah, agar tidak ada lagi korban yang harus mengalami perundungan, penindasan, dan direndahkan martabatnya.

Menurut KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dalam periode waktu 2011 hingga 2019, KPAI telah menerima sekitar 2.473 laporan untuk kasus bullying di lingkungan pendidikan dan juga sosial media. Ditambah, angka cyberbullying meningkat pesat di tengah pandemi. Jumlah kasus tersebut tentu saja merupakan jumlah yang sangat mengkhawatirkan, belum lagi ditambah kasus yang tidak dilaporkan, jumlahnya pastilah sangat tinggi. Mengapa pelanggaran HAM ini terus terjadi? padahal, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Namun nyatanya, kasus justru semakin bertambah, dan korban semakin dibungkam.

Kasus bullying memang dikategorikan sebagai jenis pelanggaran HAM ringan, namun memiliki dampak yang dapat mengancam korban, pelaku maupun saksi. Korban dapat merasa depresi, kesehatan fisik dan mentalnya menurun, dan dalam kasus terburuk dapat memicu tindakan bunuh diri. Sedangkan bagi si pelaku, tindakan ini dapat terus memicu sifat agresif, impulsif, mudah marah, sikap toleransi yang rendah terhadap sekitar, dan akan terus membuat si pelaku melakukan tindak kekerasan lainnya yang dapat berujung kepada tindak kriminal. Tak hanya bagi korban dan pelaku, peristiwa bullying juga dapat berdampak pada orang yang menyaksikan atau saksi, dimana jika peristiwa bullying tidak kunjung ditindaklanjuti, maka akan membuat tindakan ini seolah-olah merupakan tindakan yang diterima secara sosial, bahkan dapat membuat saksi merasa tidak perlu menghentikan pelanggaran hak asasi manusia ini.

Pencegahan baik dari lingkungan sekolah maupun keluarga rasanya sangat dibutuhkan agar kasus ini dapat berkurang. Pendidikan mengenai hak asasi manusia yang dasar, pendidikan karakter, penjelasan mengenai tindakan apa saja yang termasuk tindak perundungan, dampaknya, serta penanaman nilai-nilai kewarganegaraan harus terus dijunjung tinggi. Selain itu, penanganan atau rehabilitasi dengan pendekatan pemulihan sosial lewat penanaman nilai penghormatan, pertimbangan, dan partisipasi juga dapat dilakukan kepada korban dan pelaku. Sedangkan sebagai saksi dan masyarakat sekitar, kita harus lebih berani dalam melakukan pelaporan atau menyerukan kebenaran. Korban perundungan sering merasa terancam dan takut jika melapor atau sekedar membela dirinya. Namun, satu saja tindakan dukungan kita untuk membela korban dapat sangat berpengaruh baik untuk mencegah hal yang lebih buruk terjadi, juga dapat meningkatkan rasa percaya diri korban.

Memperhatikan dan lebih peduli akan keadaan sekitar merupakan suatu langkah kecil yang bisa mengubah dunia. Menumbuhkan rasa empati dan simpati dapat menyelamatkan korban juga pelaku perundungan. Dengan meningkatnya kepedulian kita akan kasus pelanggaran HAM ini, maka masa depan yang aman bagi semua orang, khususnya anak-anak rasanya dapat terjamin. Jangan pernah lelah membela kebenaran, jangan pernah takut melawan kejahatan, dan jangan pernah berhenti belajar menjadi orang yang baik bagi sekitar. Jangan pernah!

Referensi :

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. 2016. Ratas Bullying KPP — PA Januari. (diakses pada 8 April 2021) https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/8e022-januari-ratas-bullying-kpp-pa.pdf

M. Syarif Abdussalam. 2020. Sejumlah Kasus Bullying Sudah Warnai Catatan Masalah Anak di Awal 2020, Begini Kata Komisioner KPAI. Bandung: TribunJabar. (diakses pada 8 April 2021) https://jabar.tribunnews.com/2020/02/08/sejumlah-kasus-bullying-sudah-warnai-catatan-masalah-anak-di-awal-2020-begini-kata-komisioner-kpai?page=all

Sugeng Sukotjo & Arief Setiawan. 2015. Bullying, Antara Etika dan Hukum. Jakarta: KOMNAS HAM Republik Indonesia. komnasham.go.id/n/210.

*Kontributor merupakan aktivis HAM yang bergabung dalam Amnesty Internasional Indonesia Chapter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (AIICU).

--

--

Amnesty International Indonesia UIN Jakarta
Amnesty International Indonesia UIN Jakarta

Written by Amnesty International Indonesia UIN Jakarta

Affiliated with @amnestyindonesia. Campaigning for a world where human rights are enjoyed by all🌏

No responses yet